I.
PENDAHULUAN
Persaudaraan adalah fitrah yang harus selalu ditumbuhkan di tiap individu
untuk menambah persaudaraan lebih-lebih sesama umat Islam dan antar pemeluk
agama secara luas. Perselisihan sering kali terjadi bahkan hingga pada
kekerasan yang menyebabkan korban berjatuhan, hal itu terjadi karena lemahnya
persaudaraan tiap individu.
Melihat pada sejarah nabi Muhammad, pesan-pesan persaudaraan menjadi
tujuan pokok dalam islamisasi hingga se jagat raya. Sehingga walaupun
rasulullah mendapat kecaman di dalam menyebarkan ajaran Islam, beliau tetap
sabar demi terbangunnya persaudaraan di antara mereka yang belum paham akan
Islam. Misalnya terbukti dengat banyaknya hadits yang berisi mengenai urgensi
persaudaraan khususnya di kalangan Umat Islam sendiri.
Persaudaraan
dalam Islam memperkuat ikatan antara orang-orang Muslim dan menjadikan mereka
satu bangunan yang kokoh. “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal
saling mencintai dan berkasih sayang adalah ibarat satu tubuh; apabila satu
organnya merasa sakit, maka seluruh tubuh akan sulit tidur dan merasa demam.”
(Riwayat Muslim) hadits lain “Orang-orang Muslim itu ibarat satu tubuh;
apabila matanya marasa sakit, seluruh tubuh ikut merasa sakit; jika kepalanya
merasa sakit, seluruh tubuh ikut pula merasakan sakit.” (Riwayat Muslim)[1]
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Apa
itu Sistem Muakhah( persaudaraan)?
B.
Bagaimana
Sistem Muakhah(Persaudaraan) Pada Zaman Nabi Muhammad SAW?
C.
Tujuan
Sisrtem Muakhah (Persaudaraan ) Pada Zaman Nabi Muhammad SAW?
III.
PEMBAHASAN
A.
Sistem
Muakhah( persaudaraan)
Mu’akhah berasal dari kata akh yang berarti
"saudara". Mu’akhah berarti “mempersaudarakan”. Sistem mu’akhah
adalah sistem persaudaraan, yaitu antara kaum Muhajirun(Muslim Mekkah) dengan
Ansar. Awalnya, Rasulullah membangun ikatan persaudaraan antara orang-orang
Muslim Mekkah. Hal ini terjadi sebelum Hijrah dan diadakan atas dasar kesetiaan
terhadap kebenaran dan saling tolong menolong.[2]
Perasmian
undang-undang ini (sistem muakhah) diadakan di rumah Anas bin Malik r.a. Muakhah
terjadi di antara dua pihak : Muhajirin dan Anshar, secara berpasangan, yaitu
satu orang dari setiap kelompok.
Muakhah
terdiri dari 90 orang; 45 dari golongan Muhajirin dan 45 dari Anshar. Dilaporkan bahawa tidak ada seorang Muhajirin pun yang
tertinggal. Semuanya menjadi saudara
dengan seorang Anshar.
Undang-undang
sistem muakhah ini menghasilkan
hak-hak khusus di antara kedua-dua pihak yang menjadi saudara. Sebagai contoh, berlakunya tolong-menolong
yang tidak hanya terbatas pada masalah-masalah khusus tetapi terbuka pada
segala jenis bentuk pertolongan dalam menyelesaikan masalah kehidupan, sama ada
pertolongan dalam bentuk material maupun dalam bentuk kata-kata nasihat,
masalah silaturahim ataupun cinta.
Sistem muakhah juga mencipta
situasi baru, yaitu mereka dapat saling mewarisi tanpa perlu ada hubungan
kekeluargaan. Perkara ini meletakkan
hubungan Muhajirin dan Anshar di tahap yang sangat tinggi, malah lebih tinggi
dari persaudaraan yang diikat atas dasar kekeluargaan.[3]
B.
Sistem
Muakhah(Persaudaraan) Pada Zaman Nabi Muhammad SAW?
Islam menganggap orang-orang mukmin
sebagai saudaraaa. Allah berfirman QS: al-Hujurat:10 yang berbunyi sebagai
berikut:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
Artinya:”sebenarnya orang-orang
Yang beriman itu adalah bersaudara, maka damaikanlah di antara dua saudara kamu
(yang bertelingkah) itu; dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
rahmat”.
Membangun suatu hubungan
persahabatan yang akrab dan tolong menolong dalam kebaikan adalah kewajiban
bagi setiap muslim.
Al-Baladuri
menjelaskaan bahwa Nabi telah membentuk ikatan persaudaraan (rabithah
al-muakhah) diantara muslim mekah sebelum hijrah atas dasar kesetiaan
terhadap kebenaran dan saling menolong. Beliau menetapkan persaudaraan antara
Hamzah dan Zaid bin Haritsah, abu Bakar dan Umar, Utsman bin Affan dan
Abdurrahman bin auf, Zubair bin Awwam dan Abdullah bin Mas’ud, Ubaid bin Harits
dan Bilal al-Habsyi, Mus’ab bin Umar dan Sa’ad bin Abi Waqqash, Abu Ubaid bin al-Jarrah
dan Salim, Said bin Zaid bin Amr bin Nufail dan Thalhah bin Ubaidillah dan
antara dirinya dengan Ali bin Abi Thalib.
Al-Baladuri
merupakan ulama pertama yang menyebutkan susunan Muakhah Mekah. Ibnu
Abdil-Bar( wafat 463 H) mengatakan hal yang sama tanpa menyebutkan dari mana ia
memperoleh sumbernya. Demikian pula, Ibnu Sayyid-Nas mempergunakan data yang
sama tanpa menyebutkan apakah ia mengambil dati al-Baduri atau Ibnu Abdil-Bar.
Hakim meriwayatkan dalam al-Mustadrak dati Jami’ bin Umar bahwa Ibnu
Umar berkata, “ Rasulullah menetapakan ikatan persaudaraan antara Abu Bakar dan
Umar, Thalhah dan Zubair, dan antara Abdurrahman bin Auf dan Utsman.
Ibnul
Qayyim dan Ibnu Katsir cenderung berpendapat bahwa Muakhah belum terjadi Mekah.
Berkata Ibnul Qayyim, “ Disebutkan bahwa Nabi menetapkan persaudaraan
dikalangan muhajirindan beliau mengambil Ali sebagai saudaranya sendiri. Kita
sama sekali tidak meragukan adanya Muakhah di Madinah. Para muhajirin atas
dasar persaudaraan sesama muslim dan sesama dari daerah tertentu, tidak perlu
menetapkan Muakhah diantara mereka sendiri. Yang mereka butuhkan adalah Muakhah
antara muhajirin dan anshar.[4]
Ibnu katsir lebih jauh menyebutkan
bahwa ada beberapa ulama yang menolak muakhah karena alasan seperti yang
dikemukakan oleh Ibnul Qayyim. Sebenarnya pendapat Ibnu Qayyim dan Ibnu Katsir
lebih kuat karena kitab-kitab yang secara khusus membahas tentang Shirah (
sejarah islam) tidak ada yang menyinggung- nyinggung tentang penetapan Muakhah
di Mekah. Al-baduri sendiri hanyalah
sumber awal yang menyebut riwayat atau informasi ini, dan ia
mengintroduksinya tanpa kata-kata qalu ‘ mereka berkata’ dan tanpa
isnad. Kenyataan ini menjadikan riwayatnya menjadi lemah ( dhaif). Para
kritikus juga menilai al-Baduri lemah. Jika pun memang panatapan Muakhah telah
ada di Mekah, tetapin itu terbatas pada saling tolong menolong dan menasehati
antara dua saudara, dengan kata lain, tidak mempunyai implikasi yuridis adanya
hal-hal waris.
Muakhah Madinah
Muhajirin yang datang dari Mekah ke
Madinah menghadapi berbagai persoalan ekonomi, sosial, dan kesehatan.
Sebagaimana kita ketahui, muhajirin telah meninggalkan keluarga dan bahkan
sebagian besar harta kekayaan mereka di Mekah. Ketrampilan mereka adalah dalam
bidang perdagangan karena orang-orang Quraisy memang sangat ahli, bukan dalam
pertanian dan peternakan yang merupakan tonggak penting ekonomi Madinah.[5]
Karena
kebutuhan akan modal, muhajirin tidak dengan sendirinya menapaki jalan mulus
dan dalam masyarakat baru ini. Sementara negra yang baru muncul itupun
dihadapkan kepada dilema-dilema, misalnya bagaimana muhajirin dapat membiayai
hidupnya dan memperoleh tempat tinggal yang nyaman. Hubungan muhajirin dengan
masyarakat madinah baru saja mulai. Muhajirin meninggalkan keluarga dan kolega-kolega
mereka diMekah. Hubungan mereka terputus sama sekali. Ini tentu menciptakan
perasaan kesepian dan kerinduan akan tanah kelahiran, belum lagi adanya
perbedaan cuaca antara Mekah dan Madinah sehingga banyak muhajirin menderita
sakit flu dan pilek. Keadaan mereka membutuhkan perhatian khusus, lebih dari
sekedar penerimaan sebagi tamu-tamu biasa. Anshar tidak segan-segan menawarkan
pertolongan mereka. Mereka betul-betul memperlihatkan contoh pengorbanan yang
amat mulia, sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran QS, al-hasyr:9 yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur râä§qt7s? u#¤$!$# z`»yJM}$#ur `ÏB ö/ÅÏ=ö7s% tbq7Ïtä ô`tB ty_$yd öNÍkös9Î) wur tbrßÅgs Îû öNÏdÍrßß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& crãÏO÷sãur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qã £xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR Í´¯»s9'ré'sù ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ
Artinya:’’dan orang-orang (Ansar)
Yang mendiami negeri (Madinah) serta beriman sebelum mereka, mengasihi
orang-orang Yang berhijrah ke negeri mereka, dan tidak ada pula Dalam hati
mereka perasaan berhajatkan apa Yang telah diberi kepada orang-orang Yang
berhijrah itu; dan mereka juga mengutamakan orang-orang Yang berhijrah itu
lebih daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka Dalam keadaan kekurangan
dan amat berhajat. dan (ingatlah),siapa Yang menjaga serta memelihara dirinya
daripada dipengaruhi oleh tabiat bakhilnya, maka merekalah orang-orang Yang
berjaya’’.
Kedermawanan anshar sungguh luar
biasa hingga mereka mengusulkan kepada Nabi untuk membagi pohon-pohn kurma yang
mereka miliki kepada muhajirin. Alesannya, karena pohon kurma tersebut
merupakan sumber penghasilan bagi sebagian besar mereka. Nabi menyarankan agar
pohon-pohon kurma tersebut tetap dikelola mereka, tetapi mereka dapat
membagi-bagikan kurma kepada muhajirin. Kita belum bisa memastikan sistem pembagian kurma itu,
apakah hasil tanaman kuram dibagi dua atau hanya berbentuk bantuan anshar
terhadap muhajirin? Tampaknya Nabi tidak menghendaki orang-orang muhajirin
turun keladang-;adan karena mereka dibutuhkan untuk dakwah dan jihad. Apalagi
muhajirin memang tidak bisa kerja dengan pertanian. Tetapi, ini juga berarti
bahwa hasil pertanian yang dibutuhkan masyarakat tidak bertambah.[6]
Anshar
juga menawarkan tanah-tanah ekstra kepada nabi sembari berkata, “ Jika Anda
mau, ambillah rumah kami”. Nabi berterima kasih atas kebaikan mereka. Beliau
membangun rumah-rumah diatas tanah-tanah yang diberikan anshar dan tanah-tanah
yang belum dimiliki orang.
Sikap dermawan ini sangat menyenmtuh
muhajirin. Mereka secara terus terang membicarakan kedermawanan anshar. Anas
meriwayatkan bahwa muhajirin berkata, “ Ya Rasulullah, kami belum pernah datang
kepada suatu masyarakat seperti anshar ini. Jika mereka memiliki barang sedikit, mereka adalah orang-orang terbaik
yang kami saksikan yang berusaha memberikan bantuan, jika mereka memiliki
barang yang banyak, mereka pun orang-orang terbaik yang mengorbankannya. Mereka
telah memberi kami apa saja yang kami butuhkan, mengizinkan kami untuk ikut
dalam bahagia mereka. Kami khawatir bahwa merekalah yang akan memperoleh segala
pahala dari Allah. “ Nabi bersabda, “ Tidak, sepanjang kalian menghormati dan
berdoa untuk mereka”.
Perundang-undangan sistem Muakhah
Disamping pengorbanan dan
kedermawaan anshar, hal lain yang dibutuhkan adalah suatu sistem yang dapat
menjamin kelayakan hidup muhajirin. Terutama karena status dan keberadaan
memang membutuhkan suatu penyelesaian sedemikian rupa sehingga dapat merasa tidak
bergantung kepada anshar. Atas dasar itulah sisrem Muakhah dirumuskan dalam
perundang-undangan resmi.
Ada sedikit perbedaan tentang
sejarah pengesahan undang-undang tersebut. Secara umum, mereka sepakat bahwa
hal itu terhadi pada awal tahun hijriah. Hanya mereka berbeda, apakah pada saat
pembangunan masjid diMadinah atau setelah itu. Ibnu Abdil-Bar berpendapat
pembuatan undang –undang tersebut terjadi lima tahun setelah hijrah. Ibnu Sa’ad
mengatakan bahwa sistem Muakhah terbentuk setelah hijrah dan sebelum
Perang Badar, tanpa menspesifikasi waktu yang pasti pengesahan undang-undang
tersebut.[7]
Perundang-undangan sistem muakhah
ini menghasilkan hak-hak khusus diantara kedua belah pihak yang menjadi
saudara. Misalnya, tolong menolong ( mutual support). Ini tidak terbatas
pada masalah-masalah khusus, tetapi terbuka untuk segala bentuk
pertolonganuntuk menyelesaikan masalah hidup, baik berupa pertolongan materiil
atau pengawasan, nasehat, silaturrahmi, dan cinta. Sistem Muakhah ini
juga menciptakan situasi baru, yakni mereka dapat saling mewarisi tanpa harus
ada hubungan kekerabatan. Kenyataan ini membawa hubungan mereka pada
tingkatanyang begitu luas, bahkan lebih tinggi dari sekedar persaudaraan atau
dasar kekeluargaan.[8]
Penghapusan
Sistem Warisan
Sistem pewarisan antara dua saudara
seiaman merupakan suatu sosial terhadap situasi luar biasa di Madinah saat itu.
Namun, ketika muhajirin sudah terbiasa dengan gaya hidup disana, belajar
bagaimana meraih kehidupan dan memperoleh bagian harta rampasan dari Perang
Badar, sistem pewarisan kembali keposisi semula yang didasarkan atas jalian
kekeluargaan. Penghapusan terhadap sistem pewarisan ini direkam dalam Al-Quran
“....Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya( dari pada yang
bukan kerabat) di dalam Kitab Allah...”(al-Anfal:75)
Ayat ini menghapus warisan atas dasar Muakhah. Ibnu Abbas
berpendapat bahwa ayat,
“bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
ibu-bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya(mawali). Dan( jika
ada) orang-orang yang telah kamu bersumpah setia dengan mereka, maka berilah
kepada mereka bahagiannya..”(an-Anisa’;33)
Dalam pandangan Ibnu Abbas, mawali
dalam ayat diatas merujuk kepada mereka yang ada hubungan darah, sementara”
orang-orang yang kamu telah bersumpah setia “ adalah muhajirin yang mendapat
warisan yang sesuai dengan sistem mukhah. Ibnu Abbas menjelaskan bahwa hanya
masalah warisanm yang dihapus dari sistem muakhahm, sementara
bantuan,pertolongan,dan nasehat tetap menjadi semacam ytanggung jawab moral.
Bisa saja dua orang yang diikat dengan ikatan persaudaraan itu mewasiatkan
sebagian harta warisan kepada satu sama lain, tetapi tanpa wasiat iti mereka
tidak dapat mewarisi.
Imam Nawawi mempunyai pendapat yang
sama, “ Tentang masalah warisan,
sebaiknya mereka berdua tidak saling mewariskan. Ini adalah pendapat sebagian
besar ulama. Tetapi persaudaraan membantu satu sama lain dalam urusan agama,
bekerja sama dalam kebaikan dan kesalehan, tetap diperbolehkan dan tidak
dihapuskan. Ibnu Sa’ad merupakan satu-satunya orang yang mengeluarkan suatu
riwayat dengan isnad dari Urwah ibnuzz-zubair. Riwayat ini menyebutkan
penghapusan warisan antara dua orang yang ditetapkan bersaudara.[9]
C.
Tujuan Sistem
Muakhah (Persaudaraan ) Pada Zaman Nabi Muhammad SAW
Muakhah yang
dilakukan Rasulullah Saw. paling tidak mempunyai tujuan-tujuan berikut:
1. Untuk
menghilangkan rasa keterasingan dan kesendirian dalam hati para Muhajirin
dengan keberadaan mereka di negeri orang. Sementara mereka hadir di negeri itu
dengan meninggalkan tanah kelahiran, harta, bahkan sanak famili.
2. Untuk
merealisasikan atau mewujudkan nilai-nilai al-wala (kesetiaan) dan al-bara
(pemutusan hubungan kesetiaan atau berlepas diri).
3. Setia dan cinta
kepada orang-orang beriman dan menolak kepatuhan dalam kemaksiatan dan
kemungkaran.
4. Menanamkan ruh
senasib sepenanggungan, saling meringankan beban, dan saling berempati kepada
sesama.
5. Muakhah juga
dimaksudkan untuk menjadi solusi bagi persoalan ekonomi kaum Muhajirin. Mereka
datang hanya membawa keiman dan kecintaan kepada Allah serta Rasul-Nya.
Sedangkan harta, bisnis, ladang, dan ternak mereka tinggalkan di Mekkah.
6. Muakhah merupakan
sarana teramat penting bagi upaya konsolidasi umat Rasulullah Saw. dengan
segala potensi dan kekuatannya. Ini adalah upaya Rasulullah Saw. untuk
memastikan bahwa orang-orang beriman benar-benar bagaikan satu tubuh atau satu
bangunan.[10]
Lebih dari itu
semua, konsep ta’akhi tidak lain adalah upaya praktik dan implementasi
nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah Saw. kepada para pengikutnya dalam
kehidupan sosial secara nyata setelah mereka mendapatkan berbagai nilai
kebaikan di dalam masjid. Rasulullah Saw. tidak menghendaki ajaran-ajarannya
hanya sebatas teori di benak para sahabat. Dan ternyata, tarbiyah Rasulullah
Saw berhasil.
Sampai-sampai
orang-orang Muhajirin sendiri, sebagai pendatang yang mendapatkan segala
kebaikan orang Anshar, mengatakan kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah,
kami belum pernah mendapati seperti kaum yang kami datangi ini (yakni kaum
Anshar). Mereka pandai menghibur saat kesulitan dan paling baik berkorban saat
bercukupan. Mereka telah mencukupi kebutuhan hidup kami dan berbagi kepada kami
dalam hal tempat tinggal. Sampai-sampai kami khawatir mereka memborong pahala
semuanya.” Rasulullah Saw menjawab, “Tidak (kalian tidak akan kehilangan
pahala), selama kalian memuji mereka dan mendoakan kebaikan untuk mereka.”
Tentang muakhah
ini, Ustadz Munir Muhammad Ghadban dalam bukunya Fiqhus-Sirah An-Nabawiyyah
memberikan catatan antara lain, “Konsep muakhah yang dilakukan Rasulullah Saw.
adalah yang pertama dalam sejarah kemanusiaan. Bahwa Rasulullah Saw.
memerintahkan dan memantau langsung program muakhah ini, tidak mengandalkan
orang lain dan tidak hanya memberikan taujih (arahan) dengan kata-kata. Dengan
muakhah, maka hiduplah jiwa kasih sayang dan kesiapan berkorban.”[11]
D.
KESIMPULAN
1. Sistem
mu’akhah adalah sistem persaudaraan, yaitu antara kaum Muhajirun(Muslim Mekkah)
dengan Ansar. Awalnya, Rasulullah membangun ikatan persaudaraan antara
orang-orang Muslim Mekkah. Hal ini terjadi sebelum Hijrah dan diadakan atas
dasar kesetiaan terhadap kebenaran dan saling tolong menolong
2. Muakhah
terdiri dari 90 orang; 45 dari golongan Muhajirin dan 45 dari Anshar. Dilaporkan bahawa tidak ada seorang Muhajirin pun yang
tertinggal. Semuanya menjadi saudara
dengan seorang Anshar. Muakhah
terjadi di antara dua pihak : Muhajirin dan Anshar, secara berpasangan, yaitu
satu orang dari setiap kelompok.
3. Muakhah yang
dilakukan Rasulullah Saw. paling tidak mempunyai 7 tujuan.
E.
PENUTUP
Demikian
makalah ini penulis buat. Apabila dalam makalah ini ada kesalahan dan
kekurangan mohon dimaafkan, karena penulis manusia biasa yang bisa salah dan
lupa. Penulis meminta kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya.
[2]
al-Umari, Akram Diya, Masyarakat Madinah Pada Masa Rasulullah SAW.
(Jakarta:Media Da’wah,1994)
hal.14
[3] http://stiebanten.blogspot.com/2011/06/langkah-reformasi-yang-ditempuh-oleh.html
[4] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat
Madani: tinjauan historis kehidupan zaman nabi (Jakarta: gema insane press;
1999) hal. 78
[5] Ibid, hal. 80
[6] Ibid, 81
[7] http://www.geschool.net/538338/blog/post/sistem-muakhah
[8] Akram Dhiyauddin Umari, Masyarakat
Madani: tinjauan historis kehidupan zaman nabi (Jakarta: gema insane press;
1999) hal. 78
[9] Ibid, hal.83-84
[11] Ibid
0 komentar:
Posting Komentar